SISTEM PEMILU DI INDONESIA DARI MASA KE MASA
Sistem pemilu di Indonesia tidak terlepas dari fungsi rekrutmen dalam
sistem politik. Mengenai sistem pemilu Norris menjelaskan bahwa
rekrutmen seorang kandidat oleh partai politik bergantung pada sistem
pemilu yang berkembang di suatu negara. Di Indonesia, pemilihan
legislatif (DPR, DPRD I, dan DPRD II) menggunakan sistem proporsional
dengan daftar terbuka. Lewat sistem semacam ini, partai-partai politik
cenderung mencari kandidat yang populer sehingga punya elektabilitas
yang tinggi di mata para pemilih. Hal ini pula yang mendorong banyak
artis (sinetron, lawak, penyanyi) yang tergiur untuk bergabung ke dalam
sebuah partai politik.
Selain artis, banyak partai politik
merekrut academic-celebrity sebagai kandidat mereka.[1] Daftar terbuka
memungkinkan seorang kandidat mendapat contrengan lebih banyak ketimbang
calon lainnya dalam partai yang sama. Bagi partai politik, populernya
seorang caleg membuat pilihan pemilih terfokus kepada partainya
ketimbang kepada partai-partai politik lain.
Di Indonesia pula, undang-undang
pemilu yang terakhir mensyaratkan setiap partai politik menyertakan
minimal 30% kandidat perempuan. Hal ini membuka kemungkinan yang lebih
besar bagi perempuan untuk menjadi legislator. Namun, di sisi lain
partai politik sangat selektif terhadap caleg perempuan: Hanya caleg
perempuan yang memenuhi kriteria tertentu (cantik, populer, akademik)
yang benar-benar masuk ke dalam 30% kandidat partai mereka. Tingkat
persaingan antar caleg perempuan lebih besar ketimbang antar caleg
laki-laki.
Pemilihan umum merupakan mekanisme
penting dalam sebuah negara, terutama yang menggunakan jenis sistem
politik Demokrasi Liberal. Pemilihan Umum yang mendistribusikan
perwakilan kepentingan elemen masyarakat berbeda ke dalam bentuk
representasi orang-orang partai di parlemen. Sebab itu, pemilihan sebuah
sistem pemilihan umum perlu disepakati bersama antara partai-partai
politik yang terdaftar (yang sudah duduk di parlemen) dengan pemerintah.
Indonesia telah menyelenggarakan 9
kali pemilihan umum. Khususnya untuk pemilihan anggota parlemen (baik
pusat maupun daerah) digunakan jenis Proporsional, yang kadang berbeda
dari satu pemilu ke pemilu lain. Perbedaan ini akibat sejumlah faktor
yang mempengaruhi seperti jumlah penduduk, jumlah partai politik, trend
kepentingan partai saat itu, dan juga jenis sistem politik yang tengah
berlangsung.
Sebelum dilakukan
pembahasan atas sistem pemilu yang pernah diterapkan di Indonesia, ada
baiknya dijelaskan jenis-jenis sistem pemilu yang banyak dipakai di
dunia. Penjelasan hanya dititikberatkan pada kategori-kategori umum dari
setiap jenis sistem pemilu. Untuk melihat peta sistem pemilu.
Skema Jenis Sistem Pemilu
Secara garis besar,
sistem Mayoritas/Pluralitas menghendaki kemenangan partai atau calon
legislatif yang memperoleh suara terbanyak. Calon legislatif atau partai
dengan suara yang kalah otomatis tersingkir begitu saja. Varian dari
sistem Mayoritas/Plularitas adalah First Past The Post, Two Round System, Alternative Vote, Block Vote, dan Party Block Vote.
Sistem proporsional
biasanya diminati di negara-negara dengan sistem kepartaian Plural
ataupun multipartai (banyak partai). Meskipun kalah di suatu daerah
pemilihan, calon legislatif ataupun partai politik dapat
mengakumulasikan suara dari daerah-daerah pemilihan lain, sehingga
memenuhi kuota guna mendapatkan kursi. Varian sistem Proporsional adalah
Proporsional Daftar dan Single Transferable Vote.
Sistem Mixed
(campuran) merupakan pemaduan antara sistem Proporsional dengan
Mayoritas/Pluralitas. Kedua sistem pemilu tersebut berjalan secara
beriringan. Hal yang diambil adalah ciri-ciri positif dari
masing-masing sistem. Varian dari sistem ini adalah Mixed Member Proportional dan Parallel.
Sistem Other/Lainnya adalah sistem-sistem pemilu yang tidak termasuk ke dalam 3 sistem sebelumnya. Varian dari sistem lainnya ini adalah Single No Transferable Vote (SNTV), Limited Vote, dan Borda Count.
Pemilu 1955
Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama yang diadakan oleh Republik Indonesia. Pemilu ini merupakan reaksi
atas Maklumat Nomor X/1945 tanggal 3 Nopember 1945 dari Wakil Presiden
Moh. Hatta, yang menginstruksikan pendirian partai-partai politik di
Indonesia. Pemilu pun – menurut Maklumat – harus diadakan secepat
mungkin. Namun, akibat belum siapnya aturan perundangan dan logistik
(juga kericuhan politik dalam negeri seperti pemberontakan), Pemilu
tersebut baru diadakan tahun 1955 dari awalnya direncanakan Januari
1946.
Landasan hukum Pemilu
1955 adalah Undan-undang Nomor 7 tahun 1953 yang diundangkan 4 April
1953. Dalam UU tersebut, Pemilu 1955 bertujuan memilih anggota
bikameral: Anggota DPR dan Konstituante (seperti MPR). Sistem yang
digunakan adalah proporsional. Menurut UU nomor 7 tahun 1953
tersebut, terdapat perbedaan sistem bilangan pembagi pemilih (BPP) untuk
anggota konstituante dan anggota parlemen. Perbedaan-perbedaan tersebut
adalah sebagai berikut:
- Jumlah anggota konstituante adalah hasil bagi antara total jumlah penduduk Indonesia dengan 150.000 dibulatkan ke atas;
- Jumlah anggota
konstituante di masing-masing daerah pemilihan adalah hasil bagi antara
total penduduk WNI di masing-masing wilayah tersebut dengan 150.000;
Jumlah anggota konstituante di masing-masing daerah pemilihan adalah
bilangan bulat hasil pembagian tersebut; Jika kurang dari 6, dibulatkan
menjadi 6; Sisa jumlah anggota konstituante dibagikan antara
daerah-daerah pemilihan lainnya, seimbang dengan jumlah penduduk
warganegara masing-masing;
- Jika dengan cara
poin ke dua di atas belum mencapai jumlah anggota konstituante seperti
di poin ke satu, kekurangan anggota dibagikan antara daerah-daerah
pemilihan yang memperoleh jumlah anggota tersedikit, masing-masing 1,
kecuali daerah pemilihan yang telah mendapat jaminan 6 kursi itu
- Penetapan jumlah anggota DPR seluruh Indonesia adalah total jumlah penduduk Indonesia dibagi 300.000 dan dibulatkan ke atas;
- Jumlah anggota DPR
di masing-masing daerah pemilihan adalah hasil bagi antara total
penduduk WNI di masing-masing wilayah tersebut dengan 300.000; Jumlah
anggota DPR di masing-masing daerah pemilihan adalah bilangan bulat
hasil pembagian tersebut; Jika kurang dari 3, dibulatkan menjadi 3; Sisa
jumlah anggota DPR dibagikan antara daerah-daerah pemilihan lainnya,
seimbang dengan jumlah penduduk warganegara masing-masing;
- Jika dengan cara poin ke lima di atas belum mencapai jumlah anggota DPR seperti di poin ke empat,
kekurangan anggota dibagikan antara daerah-daerah pemilihan memperoleh
jumlah anggota tersedikit, masing-masing 1, kecuali daerah pemilihan
yang telah mendapat jaminan 3 kursi itu.
Pemilu 1955, sebab itu, ada dua putaran. Pertama untuk memilih anggota DPR pada tanggal 29 September 1955. Kedua
untuk memilih anggota Konstituante pada tanggal 15 Desember 1955.
Pemilu untuk memilih anggota DPR diikuti 118 parpol atau gabungan atau
perseorangan dengan total suara 43.104.464 dengan 37.785.299 suara sah.
Sementara itu, untuk pemilihan anggota Konstituante, jumlah suara sah
meningkat menjadi 37.837.105 suara.
Pemilu 1971
Pemilu 1971 diadakan tanggal 3 Juli 1971. Pemilu ini dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan Undang-undang Nomor 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Pemilu ditujukan memilih 460 anggota DPR dimana 360 dilakukan melalui
pemilihan langsung oleh rakyat sementara 100 orang diangkat dari
kalangan angkatan bersenjata dan golongan fungsional oleh Presiden.
Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar. Pemilu diadakan di 26 provinsi Indonesia. Rakyat pemilih mencoblos
tanda gambar partai. Untuk memilih anggota DPR daerah pemilihannya
adalah Daerah Tingkat I (provinsi) dan sekurang-kurangnya 400.000
penduduk memiliki satu orang wakil dengan memperhatikan bahwa setiap
provinsi minimal memiliki wakil minimal sejumlah daerah tingkat II
(kabupaten/kota) di wilayahnya. Setiap daerah tingkat II minimal punya
satu orang wakil.
Dalam Pemilu 1971, total pemilih terdaftar adalah 58.179.245 orang dengan suara sah mencapai 54.699.509 atau 94% total suara. Dari total 460 orang anggota parlemen yang diangkat presiden, 75 orang
berasal dari angkatan bersenjata sementara 25 dari golongan fungsional
seperti tani, nelayan, agama, dan sejenisnya. Dari ke-25 anggota
golongan fungsional kemudian bergabung dengan Sekber Golkar sehingga
kursi Golkar meroket hingga ke angka 257 (dari 232 ditambah 25).
Dari 460 orang anggota parlemen, jumlah anggota berjenis kelamin
laki-laki 426 dan perempuan 34 orang.
Pemilu 1977
Dasar hukum Pemilu 1977 adalah Undang-undang No. 4 Tahun 1975.
Pemilu ini diadakan setelah fusi partai politik dilakukan pada tahun
1973. Sistem yang digunakan pada pemilu 1977 serupa dengan pada pemilu
1971 yaitu sistem proporsional dengan daftar tertutup. Pemilu 1977 diadakan secara serentak tanggal 2 Mei 1977. Pemilu 1977 ditujukan guna memiliki parlemen unicameral yaitu DPR di mana 360 orang dipilih lewat pemilu ini sementara 100 orang lainnya diangkat oleh Presiden Suharto.
Persyaratan untuk ikut
serta sebagai pemilih adalah berusia sekurangnya 17 tahun atau pernah
menikah, kecuali mereka yang menderita kegilaan, eks PKI ataupun
organisasi yang berkorelasi dengannya, juga narapidana yang terkena
pidana kurung minimal 5 tahun tidak diperbolehkan ikut serta. Sementara
itu, kandidat yang boleh mencalonkan diri sekurang berusia 21 tahun,
lancar berbahasa Indonesia, mampu baca-tulis latin, sekurangnya lulusan
SMA atau sederajat, serta loyal kepada Pancasila sebagai ideologi
negara. Voting dilakukan di 26 provinsi dengan sistem proporsional daftar partai (party list system).
Jumlah pemilih yang
terdaftar 70.662.155 orang sementara yang menggunakan hak pilihnya
63.998.344 orang atau meliputi 90,56%. Sekber Golkar beroleh suara
39.750.096 (62,11%) dan memperoleh 232 kursi. PPP beroleh suara
18.743.491 (29,29%) dan memperoleh 99 kursi. PDI beroleh 5.504.757 suara
(8,60%) dan memperoleh 29 kursi. Sementara itu, kursi jatah ABRI adalah
75 kursi dan golongan fungsional 25 kursi. Golongan fungsional lalu
menggabungkan diri ke dalam sekber Golkar sehingga kursi untuk Golkar
bertambah menjadi 257 kursi. Anggota parlemen laki-laki 426 orang
sementara perempuan 34 orang (7,40%).
Pemilu 1982
Pemilu 1982 diadakan
tanggal 4 Mei 1982. Tujuannya sama seperti Pemilu 1977 di mana hendak
memilih anggota DPR (parlemen). Hanya saja, komposisinya sedikit
berbeda. Sebanyak 364 anggota dipilih langsung oleh rakyat, sementara 96
orang diangkat oleh presiden. Pemilu ini dilakukan berdasarkan
Undang-undang No. 2 tahun 1980.
Voting dilakukan di 27 daerah pemilihan berdasarkan sistem Proporsional dengan Daftar Partai (Party-List System). Partai yang beroleh kursi berdasarkan pembagian total suara yang didapat di masing-masing wilayah pemilihan dibagi electoral quotient
di masing-masing wilayah. Jumlah total pemilih terdaftar adalah
82.132.263 orang dengan jumlah suara sah mencapai 74.930.875 atau
91,23%. Golkar beroleh 48.334.724 suara (58,44%) sehingga berhak untuk
mendapat 246 kursi parlemen. PPP beroleh 20.871.880 suara (25,54%)
sehingga berhak untuk mendapat 94 kursi parlemen. PDI beroleh 5.919.702
suara (7,24%) sehingga berhak mendapat 24 kursi parlemen. Anggota DPR
yang diangkat Presiden Suharto berasal dari ABRI sejumlah 75 orang dan
golongan fungsional sebanyak 21 orang. Golongan fungsional lalu
bergabung dengan Golkar sehingga kursi parlemen Golkar naik menjadi 267
kursi. Dari 360 anggota parlemen, yang berjenis kelamin laki-laki sejumlah 422 dan perempuan 38 orang.
Pemilu 1987
Pemilu 1987 diadakan
tanggal 23 April 1987. Tujuan pemilihan sama dengan pemilu sebelumnya
yaitu memilih anggota parlemen. Total kursi yang tersedia adalah 500
kursi. Dari jumlah ini, 400 dipilih secara langsung dan 100 diangkat
oleh Presiden Suharto. Sistem Pemilu yang digunakan sama seperti pemilu
sebelumnya, yaitu Proporsional dengan varian Party-List.
Total pemilih yang terdaftar adalah sekitar 94.000.000 dengan total suara sah mencapai 85.869.816 atau 91,30%.
Golkar beroleh 62.783.680 suara (73,16%) sehingga berhak atas 299 kursi
parlemen. PPP beroleh 13.701.428 suara (15,97%) sehingga berhak atas 61
kursi parlemen. PDI beroleh 9.384.708 suara (10,87%) sehingga berhak
atas 40 kursi parlemen. Jumlah anggota parlemen dari ABRI yang diangkat
Presiden Suharto berjumlah 75 orang (kursi) sementara dari golongan
fungsional 25 orang (kursi). Jumlah anggota parlemen yang berjenis
kelamin laki-laki adalah 443 sementara yang perempuan 57 orang.
Sementara itu, jumlah anggota parlemen berusia 21-30 tahun adalah 5
orang, 31-40 tahun 38 orang, 41-50 tahun 173 orang, 51-60 tahun 213
orang, 61-70 tahun 70 orang, dan 71-80 tahun 1 orang.
Pemilu 1992
Pemilu 1992 diadakan tanggal 9 Juni 1992 dengan dasar hukum Sistem Pemilu yang digunakan sama seperti pemilu sebelumnya yaitu Proporsional dengan varian Party-List.
Tujuan Pemilu 1992 adalah memilih secara langsung 400 kursi DPR. Total
pemilih yang terdaftar adalah 105.565.697 orang dengan total suara sah
adalah 97.789.534.
Untuk hasil Pemilu 1992, Golkar beroleh 66.599.331 suara (68,10%)
sehingga berhak atas 282 kursi parlemen. PPP beroleh 16.624.647 suara
(17,01%) sehingga berhak atas 62 kursi parlemen. PDI beroleh 14.565.556
suara (10,87%) sehingga berhak atas 56 kursi parlemen. Presiden Suharto
mengangkat 75 orang (kursi) untuk ABRI dan 25 orang (kursi) untuk
golongan fungsional.
Komposisi anggota DPR
totalnya adalah 500 orang. Dari jumlah tersebut yang berjenis kelamin
laki-laki adalah 439 orang sementara perempuan 61 orang. Di sisi lain,
kisaran usia anggota DPR ini adalah 21-30 tahun 3 orang; 31-40 tahun 45
orang; 41-50 tahun 144 orang; 51-65 tahun 287 orang; dan di atas 65
tahun 21 orang.
Pemilu 1997
Pemilu 1997 merupakan
Pemilu terakhir di masa administrasi Presiden Suharto. Pemilu ini
diadakan tanggal 29 Mei 1997. Tujuan pemilu ini adalah memilih 424 orang
anggota DPR. Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan varian Party-List. Pada tanggal 7 Maret 1997, sebanyak 2.289 kandidat (caleg) telah disetujui untuk bertarung guna memperoleh kursi parlemen.
Hasil Pemilu 1997 adalah Golkar beroleh 84.187.907 suara (74,51%)
sehingga berhak atas 325 kursi parlemen. PPP beroleh 25.340.028 suara
(22,43%) sehingga berhak atas 89 kursi parlemen. PDI beroleh 3.463.225
suara (3,06%) sehingga berhak atas 11 kursi parlemen. Anggota parlemen
yang diangkat Presiden Suharto hanya dari ABRI saja yaitu 75 orang
(kursi). Total anggota parlemen 500 orang.
Pemilu 1997 ini menuai
sejumlah protes. Di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara
dibakar massa oleh sebab kecurangan Pemilu dianggap sudah keterlaluan.
Sementara itu, PDI mengalami penurunan suara signifikan akibat
intervensi pemerintah terhadap kepemimpinan partai. Megawati
Sukarnoputri dihabisi secara politik dengan cara pemerintah mendukung pimpinan tandingan Suryadi dan Fatimah Ahmad.
Dari 500 anggota DPR,
yang berjenis kelamin laki-laki adalah 443 orang sementara perempuan
adalah 57 orang. Distribusi anggota DPR yang berusia 21-30 tahun 3
orang; 31-40 tahun 51 orang; 41-50 tahun 134 orang; 51-65 orang 310
orang; dan di atas 65 tahun 2 orang.
Pemilu 1999
Pemilu 1999 adalah
pemilu pertama pasca kekuasaan presiden Suharto. Pemilu ini diadakan di
bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Pemilu ini terselenggara di
bawah sistem politik Demokrasi Liberal. Artinya, jumlah partai peserta
tidak lagi dibatasi seperti pemilu-pemilu lalu yang hanya terdiri dari
Golkar, PPP, dan PDI.
Sebelum menyelenggarakan
Pemilu, pemerintahan B.J. Habibie mengajukan tiga rancangan
undang-undang selaku dasar hukum dilangsungkannya pemilu 1999, yaitu RUU
tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu, dan RUU tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Ketiga RUU ini diolah oleh Tim Tujuh yang diketuai Profesor Ryaas Rasyid dari Institut Ilmu Pemerintahan.
Setelah disetujui DPR, barulah pemilu layak dijalankan. Pemilu 1999
diadakan berdasarkan Undang-undang Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Sesuai pasal 1 ayat (7) pemilu 1999 dilaksanakan dengan menggunakan sistem proporsional berdasarkan stelsel daftar dengan varian Roget.
Dalam pemilihan anggota
DPR, daerah pemilihannya (selanjutnya disingkat Dapil) adalah Dati I
(provinsi), pemilihan anggota DPRD I dapilnya Dati I (provinsi) yang merupakan satu daerah pemilihan, sementara pemilihan anggota DPRD II dapilnya
Dati II yang merupakan satu daerah pemilihan. Jumlah kursi anggota DPR
untuk tiap daerah pemilihan ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk Dati I
dengan memperhatikan bahwa Dati II minimal harus mendapat 1 kursi yang
penetapannya dilakukan oleh KPU.
Undang-undang Nomor 3
tahun 1999 juga menggariskan bahwa jumlah kursi DPRD I minimal 45 dan
maksimal 100 kursi. Jumlah kursi tersebut ditentukan oleh besaran
penduduk. Provinsi dengan jumlah penduduk hingga 3.000.000 jiwa mendapat
45 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk 3.000.001 – 7.000.000
mendapat 55 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk 5.000.001 – 7.000.000
mendapat 65 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk 7.000.001 –
9.000.000 mendapat 75 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk 9.000.001 –
12.000.000 mendapat 85 kursi. Sementara itu, provinsi dengan jumlah
penduduk di atas 12.000.000 mendapat 100 kursi.
Undang-undang juga
mengamanatkan bahwa untuk Dati II (kabupaten/kota) minimal mendapat 1
kursi untuk anggota DPRD I lewat penetapan KPU. Dati II berpenduduk
hingga 100.000 mendapat 20 kursi. Dati II berpenduduk 100.001 – 200.000
mendapat 25 kursi. Dati II berpenduduk 200.001 – 300.000 mendapat 30
kursi. Dati II berpenduduk 300.001 – 400.000 mendapat 35 kursi. Dati II
berpenduduk 400.001 – 500.000 mendapat 40 kursi. Sementara itu, untuk
Dati II berpenduduk di atas 500.000 mendapat 45 kursi. Setiap kecamatan
minimal harus diwakili oleh 1 kursi di DPRD II. KPU adalah pihak yang
memutuskan penetapan perolehan jumlah kursi.
Jumlah partai yang
terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM adalah 141 partai, sementara yang
lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 1999 adalah 48 partai. Pemilu 1999
diadakan tanggal 7 Juni 1999. Namun, tidak seperti pemilu-pemilu
sebelumnya, Pemilu 1999 mengalami hambatan dalam proses perhitungan
suara. Terdapat 27 partai politik yang tidak bersedia menandatangani
berkas hasil pemilu 1999 yaitu: Partai Keadilan, PNU, PBI, PDI, Masyumi,
PNI Supeni, Krisna, Partai KAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, Partai
SUNI, PNBI, PUDI, PBN, PKM, PND, PADI, PRD, PPI, PID, Murba, SPSI, PUMI,
PSP, dan PARI.
Karena penolakan 27
partai politik ini, KPU menyerahkan keputusan kepada Presiden. Presiden
menyerahkan kembali penyelesaian persoalan kepada Panitia Pengawas
Pemilu (selanjutnya disingkat Panwaslu. Rekomendasi Panwaslu adalah,
hasil Pemilu 1999 sudah sah, ditambah kenyataan partai-partai yang
menolak menandatangani hasil tidak menyertakan point-point
spesifik keberatan mereka. Sebab itu, Presiden lalu memutuskan bahwa
hasil Pemilu 1999 sah dan masyarakat mengetahui hasilnya tanggal 26 Juli
1999.
Masalah selanjutnya adalah pembagian kursi. Sistem Pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan varian Party-List. Masalah yang muncul adalah pembagian kursi sisa. Partai-partai beraliran Islam melakukan stembus-accord
(penggabungan sisa suara) menurut hitungan Panitia Pemilihan Indonesia
(PPI) hanya beroleh 40 dari 120 kursi. Di sisi lain, 8 partai beraliran
Islam yang melakukan stembus-accord tersebut mengklaim mampu memperoleh 53 dari 120 kursi sisa.
Perbedaan pendapat ini lalu diserahkan PPI kepada KPU. KPU, di depan seluruh partai politik peserta pemilu 1999 menyarankan voting. Voting ini terdiri atas dua opsi. Pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus-accord. Kedua, pembagian tanpa stembus-accord. Hasilnya, 12 suara mendukung opsi pertama, dan 43 suara mendukung opsi kedua. Lebih dari 8 partai melakukan walk-out. Keputusannya, pembagian kursi dilakukan tanpa stembus-accord.
Penyelesaian sengketa hasil pemilu dan perhitungan suara ini masih
dilakukan oleh badan-badan penyelenggara pemilu karena Mahkamah
Konstitusi belum lagi terbentuk.
Total jumlah suara
partai yang tidak menghasilkan kursi 9.700.658 atau meliputi 9,17% suara
sah. Hasil ini diperoleh dengan menerapkan sistem pemilihan Proporsional dengan Varian Roget.
Dalam sistem ini, sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara
yang diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi
berdasarkan the largest remainder (sisa kursi diberikan kepada partai-partai yang punya sisa suara terbesar).
Perbedaan antara Pemilu
1999 dengan Pemilu 1997 adalah bahwa pada Pemilu 1999 penetapan calon
terpilih didasarkan pada rangking perolehan suara suatu partai di daerah
pemilihan. Jika sejak Pemilu 1971 calon nomor urut pertama dalam daftar
partai otomatis terpilih bila partai itu mendapat kursi, maka pada
Pemilu 1999 calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau
terbanyak dari daerah di mana seseorang dicalonkan. Contohnya, Caleg A
meski berada di urutan terbawah daftar caleg, jika dari daerahnya ia dan
partainya mendapatkan suara terbesar, maka dia-lah yang
terpilih. Untuk penetapan caleg terpilih berdasarkan perolehan suara di
Daerah Tingkat II (kabupaten/kota), Pemilu 1999 ini sama dengan metode
yang digunakan pada Pemilu 1971.
Dari total 500 anggota
DPR yang dipilih, sebanyak 460 orang berjenis kelamin laki-laki dan
hanya 40 orang yang berjenis kelamin perempuan. Sebab itu, persentase
anggota DPR yang berjenis kelamin perempuan hanya meliputi 8% dari
total.
Pemilu 2004
Pemilu 2004 merupakan
sejarah tersendiri bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. Di pemilu 2004
ini, untuk pertama kali rakyat Indonesia memilih presidennya secara
langsung. Pemilu 2004 sekaligus membuktikan upaya serius mewujudkan
sistem pemerintahan Presidensil yang dianut oleh pemerintah Indonesia.
Pemilu 2004 menggunakan
sistem pemilu yang berbeda-beda, bergantung untuk memilih siapa. Dalam
pemilu 2004, rakyat Indonesia memilih presiden, anggota parlemen (DPR,
DPRD I, dan DPRD II), serta DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Untuk ketiga
maksud pemilihan tersebut, terdapat tiga sistem pemilihan yang berbeda.
Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka.
Proporsional Daftar adalah sistem pemilihan mengikuti jatah kursi di
tiap daerah pemilihan. Jadi, suara yang diperoleh partai-partai politik
di tiap daerah selaras dengan kursi yang mereka peroleh di parlemen.
Untuk memilih anggota
parlemen, digunakan sistem pemilu Proporsional dengan varian
Proporsional Daftar (terbuka). Untuk memilih anggota DPD, digunakan
sistem pemilu Lainnya, yaitu Single Non Transverable Vote (SNTV). Sementara untuk memilih presiden, digunakan sistem pemilihan Mayoritas/Pluralitas dengan varian Two Round System (Sistem Dua Putaran).
Pemilihan Legislatif. Mekanisme
pengaturan pemilihan anggota parlemen ini ada di dalam Undang-undang
Nomor 12 tahun 2003. Untuk kursi DPR, dijatahkan 550 kursi. Daerah
pemilihan anggota DPR adalah provinsi atau bagian-bagian provinsi. Untuk kursi di DPRD I berlaku ketentuan berikut:
(1) daerah pemilihan DPRD I adalah kabupaten atau kota atau gabungan
kabupaten/kota; (2) provinsi berpenduduk sampai dengan 1 juta mendapat
35 kursi; (3) provinsi berpenduduk > 1 juta sampai dengan 3 juta,
beroleh 45 kursi; (4) provinsi berpenduduk > 3 juta sampai dengan 5
juta, beroleh 55 kursi; (5) provinsi berpenduduk > 5 juta sampai
dengan 7 juta, beroleh 65 kursi; (6) provinsi berpenduduk > 7 juta
sampai dengan 9 juta, beroleh 75 kursi; (7) provinsi berpenduduk > 9
juta sampai dengan 12 juta, beroleh 85 kursi; dan (8) provinsi
berpenduduk > 12 juta beroleh 100 kursi.
Sementara itu, untuk DPRD II (Kota/Kabupaten) berlaku ketentuan: (1) Daerah pemilihan DPRD II adalah kecamatan atau gabungan kecamatan;
(2) Kabupaten atau kota berpenduduk sampai dengan 100 ribu beroleh 20
kursi; (3) Kabupaten atau kota berpenduduk > 100 ribu sampai dengan
300 ribu beroleh 25 kursi; (4) Kabupaten atau kota berpenduduk > 300
ribu sampai dengan 400 ribu beroleh 35 kursi; (5) Kabupaten atau kota
berpenduduk > 400 ribu sampai dengan 500 ribu beroleh 40 kursi, dan
(6) Kabupaten atau kota berpenduduk > 500 ribu beroleh 45 kursi.
Dengan demikian, pada
Pemilu 2004, total kursi untuk DPR, DPRD I, dan DPRD II sebagai berikut:
(1) Kursi DPR memperebutkan 550 kursi; (2) Kursi DPRD I
memperbutkan 1.780 kursi; dan (3) Kursi DPRD II memperbutkan 13.665
kursi.
Sistem Proporsional dicirikan adanya Bilangan Pembagi Pemilih
(BPP). Bilangan ini berbeda antar satu daerah dengan daerah lain,
bergantung pada jumlah total penduduknya. Cara pembagian BPP bagi setiap
partai politik dibagi ke dalam dua tahap. Tahap pertama terdiri
atas proses-proses: (1) menghitung total suara sah masing-masing parpol;
(2) menghitung BPP dengan cara total suara sah masing-masing parpol
dibagi jumlah kursi yang diperebutkan di daerah tersebut; (3) menghitung
suara sah tiap parpol dibagi dengan BPP; (4) parpol yang suaranya
melebihi BPP otomatis langsung mendapat kursi, dan (5) Parpol yang
suaranya melebihi BPP tetapi belum cukup untuk kursi jadi beroleh sisa
suara.
Setelah perhitungan tahap pertama selesai dilakukan, lalu dilanjutkan oleh tahap kedua, yang proses-prosesnya terdiri atas: (1) Kursi
yang belum habis dibagi pada tahap 1 kembali dihitung; (2) Sisa suara
diberikan kepada parpol satu per satu bergantung suara terbanyak; (3)
Setelah kursi habis dibagikan dan sisa suara masih ada, sisa suara itu
dianggap hangus, dan (4) Stembus accord tidak diperkenankan. Contoh perhitungan suara sebagai berikut:
Daerah pemilihan XYZ memiliki jatah 10 kursi untuk parlemen. Total suara sah yang dihasilkan pemilu 12.000.000. Maka BPP untuk daerah XYZ adalah :
Penentuan BPP
Jadi, BPP untuk daerah pemilihan XYZ adalah 470.000.
Hasil Pemilu Daerah Pemilihan XYZ sebagai berikut :
- Partai Golkar = 5.000.000
- Partai Demokrat = 1.500.000
- Partai Gerindra = 2.500.000
- Partai PDIP = 7.100.000
- Partai Hanura = 2.700.000
Maka perhitungan suara daerah XYZ adalah :
Contoh Perhitungan Suara
Setelah kursi yang diperoleh tersedia, masing-masing parpol menentukan caleg terpilih melalui Daftar Terbuka
untuk menduduki kursi-kursi tersebut. Langkah penentuan caleg sebagai
berikut: (1) Melihat hasil perhitungan perolehan suara setiap caleg; (2)
Caleg yang beroleh suara mencapai BPP langsung ditetapkan sebagai calon
terpilih; dan (3) Caleg yang tidak mencapai BPP tidak beroleh kursi,
parpol lalu menetapkan caleg terpilih berdasar nomor urut si caleg dalam
daftar parpol di daerah tersebut.
Pemilihan DPD. Pemilu 2004 mengaplikasikan hasil Amandemen UUD 1945 dalam mana parlemen terdiri atas rencana bikameralisme. Kamar pertama adalah DPR (di tingkat provinsi dan kabupaten atau kota DPRD I, dan DPRD II). Sementara itu, kamar kedua
adalah DPD. Anggota DPD nantinya akan menjadi anggota MPR bersama-sama
dengan DPR. Anggota DPD juga akan menggantikan posisi Fraksi Utusan
Golongan dan Fraksi TNI dan Polri yang selama ini tidak dipilih melalui
mekanisme Pemilihan Umum.
Tugas spesifik dari
anggota DPD adalah membahas dan mempertimbangkan penyusunan RUU yang
berkaitan dengan: (1) pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;
(2) Pengelolaan sumber daya alam dan sumber ekonomi lain; dan (3) RUU
lain yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Tugas
lainnya adalah mengawasi pelaksanaan UU yang berkaitan dengan ketiga
poin-poin yang telah disebut tadi.
Daerah pemilihan anggota DPD adalah provinsi dan setiap provinsi memiliki empat kursi DPD dengan sistem Single Non Transferable Vote (SNTV).
Mekanisme pemilihan anggota DPD di Pemilu 2004 sebagai berikut: (1)
Pemilih mencoblos satu calon anggota DPD yang nama dan fotonya tercantum
di ballot; (2) Empat calon anggota DPD yang beroleh suara
terbanyak otomatis menjadi anggota DPD dari provinsi tersebut; dan (3)
Jika terdapat calon dengan urutan suara keempat yang beroleh suara sama,
maka calon dengan persebaran suara yang lebih merata di tiap daerah
yang jadi pemenang.
Pemilihan Presiden. Sistem yang digunakan adalah Two Round System, di mana pemilihan presiden akan diadakan dua putaran. Putaran pertama seluruh pasangan (capres-cawapres) yang ada bertarung untuk memperoleh mayoritas 50% plus
1. Jika di dalam putaran pertama ada di antara pasangan capres-cawapres
yang beroleh suara > 50% dengan sedikitnya 20% suara di setiap dari
setengah jumlah provinsi yang ada di Indonesia, maka pasangan tersebut
otomatis menang. Namun, jika tidak ada satu pun pasangan yang memenuhi
syarat tersebut, maka diadakan pemilu putaran kedua. Putaran kedua
menghendaki pasangan capres-cawapres yang beroleh suara terbanyak
otomatis terpilih selaku presiden dan wakil presiden Republik Indonesia.
Dalam Pemilu 2004,
terdapat lima pasangan yang maju bersaing menjadi presiden dan wakil
presiden Republik Indonesia. Pasangan-pasangan tersebut adalah Susilo Bambang Yudhoyono-Yusuf Kalla, Megawati Sukarnoputri-Hasyim Muzadi, Wiranto-Solahuddin Wahid, Amien Rais-Siswono Yudhohusodo, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar. Dalam putaran pertama tanggal 5 Juli 2004, total suara pemilih yang valid adalah 118.656.868. Setelah dihitung voting diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 6 Rekap Hasil Pilpres 2004 Putaran 1
Pasangan Susilo Bambang Yudhoyo–Yusuf Kalla menduduki posisi teratas dengan meraih 33,674% suara. Pasangan Megawati Sukarnoputri–Hasyim Muzadi
meraih posisi kedua dengan mendapat 26,602% suara. Kedua pasangan
tersebut tidak beroleh suara > 50% serta beroleh suara 20% di
setengah jumlah provinsi Indonesia. Sebab itu, putaran kedua harus dilaksanakan. Hasil putaran kedua tanggal 20 September 2004 adalah sebagai berikut :
Rekap Hasil Pilpres 2004 Putaran 2
Melalui hasil di atas, dapat dipastikan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono–Yusuf Kalla menang dalam putaran kedua.
Otomatis, pasangan tersebut menjadi presiden dan wakil presiden
Republik Indonesia periode 2004–2009. Melalui hasil ini, posisi presiden
dan wakil presiden menjadi lebih kuat ketimbang posisi presiden
Abdurrahman Wahid yang diturunkan di tengah jalan melalui kekuatan
parlemen. Kekuatan posisi Susilo Bambang Yudhoyono – Yusuf Kalla akibat pasangan ini dipilih langsung oleh rakyat, dan mereka habis masa jabatan sesuai rencana.
Pemilu 2009
Pemilu 2009 dilaksanakan menurut Undang-undang Nomor 10 tahun 2008. Jumlah kursi DPR ditetapkan sebesar 560 di mana daerah dapil anggota DPR adalah provinsi atau bagian provinsi. Jumlah kursi di tiap dapil yang diperebutkan minimal tiga dan maksimal sepuluh kursi. Ketentuan ini berbeda dengan Pemilu 2004.
Pemilihan Legislatif. Menurut
Pasal 23 Undang-undang Nomor 10 tahun 2008, jumlah kursi untuk anggota
DPRD Provinsi minimal tiga puluh lima dan maksimal seratus kursi. Jumlah
ini ditentukan melalui perhitungan jumlah penduduk wilayah provinsi
masing-masing dimana: (1) provinsi berpenduduk minimal 1.000.000
mendapat alokasi 35 kursi; (2) provinsi berpenduduk 1.000.000–3.000.000
mendapat alokasi 45 kursi; (3) provinsi berpenduduk 3.000.000–5.000.000
mendapat alokasi 55 kursi; (4) provinsi berpenduduk 5.000.000–7.000.000
mendapat alokasi 65 kursi; (5) provinsi berpenduduk 7.000.000–9.000.000
mendapat alokasi 75 kursi; (6) provinsi berpenduduk 9.000.000–11.000.000
mendapat alokasi 85 kursi; dan (7) provinsi berpenduduk di atas
11.000.000 mendapat alokasi 100 kursi. Selanjutnya pasal 24
undang-undang ini menyebutkan bahwa daerah pemilihan anggota DPRD
Provinsi adalah kabupaten atau kota atau gabungan kabupaten atau kota di
mana jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi sama
dengan pemilu 2004.
Daerah pemilihan anggota
DPRD kabupaten atau kota adalah kecamatan atau gabungan kecamatan yang
jumlahnya sama seperti pemilu 2004. Jumlah kursi DPRD kabupaten atau
kota paling sedikit 20 dan paling banyak 50 kursi, yang besaran kursinya
ditentukan oleh: (1) wilayah berpenduduk hingga 100.000 mendapat
alokasi 20 kursi; (2) wilayah berpenduduk 100.000–200.000 mendapat
alokasi 25 kursi; (3) wilayah berpenduduk 200.000–300.000 mendapat
alokasi 30 kursi; (4) wilayah berpenduduk 300.000–400.000 mendapat
alokasi 35 kursi; (5) wilayah berpenduduk 400.00–500.000 mendapat
alokasi 40 kursi; (6) wilayah berpenduduk 500.000–1.000.000 mendapat
alokasi 45 kursi; (7) wilayah berpenduduk > 1.000.000 mendapat
alokasi 50 kursi.
Pemilihan DPD. Untuk
pemilihan anggota DPD ditetapkan 4 kursi bagi setiap provinsi. Provinsi
adalah daerah pemilihan untuk anggota DPD. Dan dengan demikian dengan
total provinsi sejumlah 33, jumlah anggota DPD Indonesia adalah 132
orang. Sistem pemilihan untuk anggota DPD menggunakan Single Non Transferable Vote (SNTV).
Pemilu 2009 masih menggunakan sistem yang mirip dengan Pemilu 2004. Namun, electoral threshold
dinaikkan menjadi 2,5%. Artinya, partai-partai politik tatkala masuk ke
perhitungan kursi caleg hanya dibatasi bagi yang berhasil mengumpulkan
komposisi suara di atas 2,5%. Pemilu ini pun mirip dengan Pemilu 1999 di
mana 48 partai ikut berlaga dalam kompetisi dagang janji ini.
Pemilihan Presiden. Pemilu Presiden tahun 2009 menggunakan Two Round System. Artinya, jika pada putaran pertama tidak terdapat pasangan yang menang 50 plus 1 atau merata persebaran suara di lebih dari setengah daerah pemilihan maka konsekuensinya harus diadakan putaran kedua.
Untungnya, dana negara tidak terbuang sia-sia karena pemilu Presiden
2009 ini cuma berlangsung satu putaran saja. Pilpres yang direkapitulasi
oleh KPU pada 22 – 4 Juli 2009 ini diikuti oleh tiga pasang calon
yaitu: (1) Megawati–Prabowo aka MegaPro; (2) SBY–Boediono aka SBY Berbudi; dan (3) Jusuf Kalla–Wiranto aka JK Win. Hasil Pilpres resmi KPU menghasilkan data berikut:
- Megawati–Prabowo (32.548.105 atau 26,79%)
- SBY–Boediono (73.874.562 atau 60,80%)
- JK–Wiranto (15.081.814 atau 12.41%)
Dengan demikian, pasangan SBY-Boediono
keluar sebagai pemenang Pemilihan Presiden tahun 2009 dan sah untuk
mengatur administrasi negara kesatuan Republik Indonesia dari 2009
hingga 2014.